Selasa, 17 Juni 2008

Artikel

Membangun dan Menata Sistim Kelistrikan di Indonesia

Firdaus dan Mohamad Riadi

E-mail: firdaus_nyonk@yahoo.com, Mohamad_riadi@yahoo.com

Teknik Elektro ,Universitas Negeri Jakarta, Telp. 021-471237

Abstrak

Listrik merupakan salah satu energy yang sangat efektif dan efisien dalam penggunaannya. Didalam kehidupan sehari-hari yang telah kita ketahui bahwa semakin banyak jumlah penduduk suatu Negara, maka main banyak pula energy listrik yang di konsumsi Negara tersebut. Sehingga, pasokan energi untuk sumber pembangkit listrik sangat banyak diperlukan. Pusat pembangkit yang ada di Indonesia, masih bergantung pada pasokan energi fosil untuk membangitkan energi listrik yang dihasilkan pusat pembangkit listrik. Dengan terganggunya pasokan energy ke pusat pembangkit listrik, maka berdampak pada para konsumen yang paling berpengaruh yaitu industri. Maka banyak kebijakan yang di ambil oleh PLN, yang berdampak pada kenaikan tarif listrik ataupun pemadaman listrik secara bergiliran, yang terkadang merugikan pihak konsumen mauoun sector Industri. keywords : listrik, pasokan listrik, konsumen


  1. PENDAHULUAN

Kata krisis di Indonesia, tampaknya kian akrab saja di telinga masyarakat. Terlebih lagi krisis listrik yang menjadi bahasan banyak orang. Mengapa sering terjadi krisis secara terus menerus?pertanyaan retorik yang jawabannya sudah pasti, karena permintaan lebih besar dari penawaran. Masalah klasik, yang selalu saja dijadikan alasan untuk selalu menaikan mutu pelayanan ataupun pembangunan pembangkit, yang berujung pada naiknya tarif dasar listrik. Memang diakui, makin banyak masayarakat yang menggunakan energi listrik, karena dianggap paling efektif dan efisisen penggunaannya dibandingkan energi lain. Tapi apa hal itu yang selalu dijadikan alasan, untuk menaikan tarif dasar listrik dan sebenarnya apa yang menjadi masalah dalam krisis listrik? Apakah tidak ada solusi dari hal semacam ini? Faktor cuaca akhir-akhir ini, yang sering tidak menentu dijadikan kambing hitam. Sehingga, pasokan listrik dan pusat pembangkit listrik terganggu. Banyak pembangkit listrik yang berhenti beroperasi, kejadian ini bukan kali pertama sejak krisis listrik terjadi. Segala kebijakan yang dicanangkan oleh PLN maupun pemerintah mengenai kelistrikan menimbulkan banyak pro-kontra di kalangan seluruh lapisan masyarakat dan para pakar dibidang kelistrikan. Himbauan hemat energi dan kasus pencurian listrik yang selama ini terjadi belum pernah dijadikan pertimbangan yang merugikan PLN sendiri. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, semestinya sudah menjadi bahan pelajaran untuk menanggulangi masalah kelistrikan, bukan mengeluarkan kebijakan yang makin membuat masyarakat semakin susah.

Sejarah Penyediaan Tenaga Listrik

Sejarah penyesiaan tenaga listrik di Indonesia, diawali dengan selesai sibangunnya pusat tenaga listrik di Gambir, Jakarta dalm bulan Mei 1897. Hal serupa kemudian disusul oleh kota-kota besar lainnya, diantaranya Medan(1899), Surakarta(1902), Bandung(1906), Surabaya(1912) dan Banjarmasin(1922). Pada awalnya, penggunaan pusat-pusat listrik mempergunakan tenaga termis, lalu berkembang dengan pembuatan pusat-pusat listrik tenaga air. Umumnya, pengusaha kelistrikan di Indonesia sebelum perang dunia II, dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan swasta, diantaranya yang terbesar saat itu adalah NIGEM(Nederlands Indische Gas en Electricities Maatschappij). Izin listrik atau konsesi dari pada perusahaan swasta mulai dari tahun 1954 secara berangsur-angsur menjadi kadaluwarsa, tidak diperpanjang lagi dan mulai tahun tersebut diambil alh Negara. Maka secara praktis semua perusahaan listrik telah dikuasai oleh Negara dan disatukan ke dalam Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN).

  1. PEMBAHASAN

Analisis Krisis Listrik dan Pasokan Listrik

“Presiden dan wakil presiden RI mengakui kelemahan pemrintah dalam mengelola kelistrikan. Akibatnya, pasokan listrik saat ini tidak mencukupi kebutuhan. Keduanya mengatakan krisis akan terus berlangsung sampai tahun 2009”.( kompas, 29 Februari 2008). Krisis di perkirakan akan teratasi tahun 2010, dengan proyek percepatan pembangunan pembangkit berbahan bakar batu bara. Namun, benarkah pasokan akan aman seterusnya setelah proyek rampung di benahi? Kekurangan pasokan listrik saat ini karena 10 tahun terakhir pembangunan proyek baru sangat minim. Krisis ekonomi ekonomi tahun 1998, meskipun demikian pemerintah memutuskan untuk melanjutkan 21 proyek, target penyelesaian pembangunan meleset dari jadwal. Dari 26 sistim besar kelistrikan Indonesia saat ini, hanya 6 yang berstatus normal, termasuk sistim jawa-bali. Lima defisit, yaitu termasuk Kalimantan timur, Sumatra utara, Kalimantan selatan, Kalimantan tengah, dan Sulawesi Tenggara. Sisanya 15 sistim, dalam keadaan siaga atau dalam bahasa sederhananya, cadangan bahan bakar pas-pasan dengan daya pembangkit yang ada. Apabila terjadi gangguan atau pemeliharaan, statusnya turun menjadi deficit.

Dalam satu decade ini sistim Jawa-Bali, yang menyerap 80 % dari keseluruhan produksi listrik nasional. Hanya mendapatkan tambahan pembangkit baru 3.300 MW. Idealnya, tambahan daya dari pembangkit baru agar bisa berjalan tanpa gangguan 1000 MW/tahun. Perkiraan kebutuhan itu dengan berasumsi, kebutuhan beban puncak 16.000 MW ditambah pertumbuhan konsumsi listrik 6,3% per tahun, dan cadangan daya 30 %. Padahal, daya mampu hanaya 17.000 MW. Krisis listrik berpotensi terjadi jangka panjang, bila pihak terakit tidak serius menangani masalah ini.

Krisis listrik kembali terulang. Sejak Rabu, 20 Februari 2008, Jawa-Bali mengalami pemadaman serentak karena terjadi defisit pasokan listrik hingga 1.044 Mw. Pemerintah akan mengumumkan keadaan darurat jika defisit mencapai 1.500 Mw (Media Indonesia, 21/2/2008).Krisis listrik di Indonesia bisa dikatakan sudah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Di beberapa wilayah, tiada hari tanpa pemadaman bergilir. Sistem Jawa-Bali yang paling maju dan terinterkoneksi juga masih sering mengalami masalah.

Dampak krisis listrik ini sangat luas dan merugikan. Yang paling jelas terpukul adalah sektor industri pengguna listrik. Industri manufaktur terpaksa menurunkan produksi akibat ketidakpastian pasokan listrik. Selain merugikan industri besar seperti baja dan otomotif, industri berorientasi ekspor seperti sepatu dan tekstil terancam oleh penurunan kualitas produksi akibat ketidakstabilan pasokan listrik dan tidak bisa mengirim pesanan tepat waktu sehingga terancam penalti, bahkan kehilangan order. Sebagian industri bahkan terpaksa berhenti beroperasi sementara dan merumahkan karyawannya karena ketiadaan pasokan listrik.

Sektor lain juga tidak kalah terpukul. Pengembang perumahan, terutama tipe sederhana dan menengah, sering tidak mendapat pasokan listrik sehingga rugi karena tidak bisa melakukan serah terima dengan pembeli, rumah yang sudah dibangun jadi terbengkalai, dan modal tidak bisa berputar. Sektor perikanan yang memiliki potensi sangat besar tidak bisa berkembang karena ketiadaan pasokan listrik untuk pabrik es dan cold storage yang sangat dibutuhkan sektor ini.

Yang paling menderita dari ketiadaan pasokan listrik ini adalah jutaan pelaku usaha kecil dan mikro karena mereka tidak memiliki alternatif pasokan lain. Pasokan listrik yang tidak stabil juga telah menurunkan kepuasan pelanggan serta merusak mesin dan perangkat lunak. Belum lagi jika kita memperhitungkan kerugian masyarakat luas. Dengan demikian, ketidakpastian pasokan listrik tidak saja menurunkan daya saing dan memperburuk iklim investasi sehingga mengancam pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memperburuk masalah pengangguran, kesenjangan pendapatan, dan kemiskinan.

Akar permasalahan

Menimpakan seluruh kesalahan pada PLN adalah tidak bijak. Minimnya pasokan listrik sebagian memang dipicu stagnasi produksi PLN. PLN sendiri yang memasok 90% kebutuhan listrik nasional, sulit meningkatkan produksi karena minimnya keuangan perusahaan sehingga sulit diharapkan dapat melakukan ekspansi. Produksi PLN yang sudah ada juga tidak optimal dan mahal karena sebagian besar pembangkit sudah tua, boros bahan bakar, kekurangan pasokan energi primer, dan sering mengalami kerusakan. PLN juga dikenal tidak efisien, seperti susut daya listrik yang besar, mahalnya harga pembelian listrik swasta, tingginya kasus pencurian listrik hingga korupsi. Namun stagnasi produksi listrik sebagian merupakan warisan kesalahan masa lalu.

Pembangunan listrik yang tidak bervisi ke depan akibat subsidi BBM regresif membuat sebagian besar pembangkit PLN adalah pembangkit termal yang kini kian mahal. Selain mahal, konversi energi bahan bakar fosil menjadi listrik juga sangat tidak efisien (hanya sekitar 30%) dan tidak ramah lingkungan. Sampai kini, sebagian besar produksi listrik nasional masih mengandalkan bahan bakar fosil.

Sementara itu, investasi swasta yang diharapkan masuk terganjal oleh ketidakjelasan kerangka kebijakan (regulatory framework). Penganuliran UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan oleh Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004 membuat karpet merah yang telah digelar kepada swasta seolah ditarik kembali. Dengan UU No 20/2002 monopoli PLN atas bisnis listrik dihentikan. Keterbukaan pasar dan kompetisi diperkenalkan dengan penerapan sistem unbundling saat swasta dapat masuk ke bisnis penyediaan tenaga listrik (meliputi usaha pembangkit, transmisi, distribusi, penjualan, agen penjualan, pengelola pasar, dan pengelola sistem tenaga listrik) dan penunjangnya (meliputi usaha jasa penunjang tenaga listrik dan industri penunjang tenaga listrik). Namun pembatalan UU Kelistrikan membuat pasar listrik kembali tertutup. Struktur tarif juga tidak kompetitif sehingga bisnis ini menjadi tidak menguntungkan. Dengan ditambah tingginya risiko usaha dan kerentanan prospek jangka panjang, underinvestment tidak terelakkan dan terjadi dari hulu (pembangkit) hingga hilir (transmisi dan distribusi).

Di sisi lain, permintaan listrik terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan pemulihan ekonomi pascakrisis. Pertumbuhan konsumsi listrik diperkirakan 8-10% per tahun hingga 2013. Dengan begitu, krisis listrik yang disebabkan kesenjangan (gap) antara permintaan dan penawaran sudah terprediksi sejak lama. Jika tidak ada tambahan kapasitas yang berarti, krisis pada sistem Jawa-Bali dan sistem interkoneksi Sumatra pada 2008 ini hanya tinggal menunggu waktu.

Upaya Atasi Krisis Listrik

Penanggulangan krisis listrik membutuhkan kebijakan yang terpadu, menyeluruh, dan visioner. Dalam jangka pendek, langkah taktis-pragmatis yang paling mudah dan murah adalah kampanye penghematan dan efisiensi penggunaan listrik, terutama pada saat beban puncak (pukul 17.00 WIB-22.00 WIB). Efisiensi tidak identik dengan menurunkan aktivitas. Efisiensi adalah menggunakan listrik seperlunya dan menghindari pemborosan, seperti pemakaian AC, komputer, lampu, dan televisi yang tidak perlu. Sektor publik juga memiliki peran besar di sini, seperti mengurangi pemakaian listrik untuk lampu taman, lampu hias atau air mancur.

Pengendalian permintaan juga dapat dilakukan melalui insentif tarif, terutama ketentuan insentif dan penalti untuk pemakaian listrik saat beban puncak. Namun insentif tarif harus dilakukan secara hati-hati agar usaha mengerem pertumbuhan konsumsi listrik tidak berdampak negatif pada produksi dan iklim investasi.

Dalam jangka pendek, krisis listrik juga harus dikombinasikan dengan usaha meningkatkan pasokan listrik oleh PLN secara cepat, seperti menekan tingkat kehilangan (losses) dan menekan kasus pencurian. Kemampuan PLN untuk merawat, repowering, dan bahkan ekspansi pembangkit dapat dilakukan jika kondisi keuangan PLN membaik yang hanya bisa diraih melalui efisiensi dan rasionalisasi operasional yang signifikan. Sebagai misal, setiap penurunan 1-2% kehilangan akan meningkatkan pendapatan PLN antara Rp0,7 triliun-1,4 triliun. Pengurangan pemakaian BBM akan menurunkan pengeluaran PLN secara signifikan mengingat biaya BBM adalah sangat mahal jika dibandingkan dengan gas atau batu bara. Potensi penghematan dari efisiensi dan negosiasi ulang listrik swasta juga signifikan bagi PLN.

Di sini kita juga perlu menanyakan perkembangan crash program pengadaan listrik 10 ribu Mw yang digagas pemerintah sejak lama untuk mencukupi pasokan listrik pada 2009. Rencana pembangunan pembangkit yang berbasis batu bara juga perlu dikaji ulang karena batu bara terkenal memiliki polutan paling tinggi walau memiliki rasionalitas ekonomi yang tinggi karena harga yang murah dan ketersediaan yang besar. Crash program harus didiversifikasi dengan pembangkit lain yang ramah lingkungan, seperti pembangkit berbasis air dan panas bumi.

Dalam jangka panjang, krisis listrik hanya bisa diatasi kebijakan kelistrikan yang mengintegrasikan kebijakan energi nasional, fiskal, BUMN, dan teknologi. Partisipasi swasta dan masyarakat juga amat dibutuhkan. Fokus utama adalah menyediakan regulatory framework dan lingkungan yang kondusif untuk investasi kelistrikan. Kerangka regulasi setidaknya harus memperjelas struktur tarif yang lebih kompetitif dengan mengizinkan perbedaan tarif antardaerah dan memperkenalkan persaingan dengan mengizinkan BUMN/BUMD lain (bukan swasta, agar sesuai dengan konstitusi) untuk berkompetisi dengan PLN.

Untuk wilayah Indonesia yang luas dan terdiri dari banyak pulau dengan kondisi geografis yang sulit dijangkau, krisis listrik tidak cukup hanya dengan membangun pembangkit, transmisi, dan distribusi. Berbagai kebijakan inovatif yang menumbuhkan inisiatif daerah dibutuhkan, sentralisasi pengadaan listrik harus diakhiri. Ke depan, inisiatif-inisiatif pembangunan kelistrikan berbasis masyarakat harus didorong, seperti pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) yang memanfaatkan tenaga air skala kecil. Potensi mikrohidro adalah signifikan, sekitar 7.500 Mw, namun yang dimanfaatkan baru 600 Mw. Selain sederhana dan murah, mikrohidro ramah lingkungan dan potensial untuk menggerakkan ekonomi lokal dan perdesaan. Ke depan, harus juga didorong gerakan swasembada listrik di wilayah-wilayah lumbung energi. Jangan lagi terjadi ironi daerah lumbung energi justru mengalami krisis listrik.

Di saat yang sama, diversifikasi pembangkit listrik harus segera mulai dilakukan. Indonesia memiliki cadangan sumber energi alternatif yang berlimpah. Potensi panas bumi Indonesia tercatat sekitar 27 ribu Mw, merupakan 40% cadangan dunia. Pembangkit geotermal dikenal sebagai energi bersih dan murah biaya operasionalnya, namun investasinya memang mahal. Indonesia juga memiliki potensi energi surya yang berlimpah dengan potensi 4,5 Kwh/m2/hari (KBI) dan 5,1 Kwh/m2/hari (KTI). Selain bersih dan bebas polusi, energi ini tersedia di mana-mana dan tidak memerlukan instalasi yang rumit.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sesuai dengan pembahasan yang di dasari dengan latar belakang, penulis mengambil kesimpulan :

1. Pemerintah harus segera memperbaiki sistim PLN dengan cepat seluruh sector kelistrikan yang telah menjadikan proses distribusi listrik pada masyarakat tidak lancar.

2. Memenuhi pasokan energi dengan melakukan proses intensifikasi dan eksploitasi.

3. Memperbaiki sistim manajemen, perawatan dan perencanaan tenaga listrik

4. Memperhatikan unsur-unsur penunjang lainnya dengan memanfaatkan sumber daya alam yang memadai

5. Pemerintah harus Memonopolikan sumber pasokan pembangkit listrik untuk PLN.

Referensi

kompas, 29 Februari 2008

Media Indonesia, 21/2/2008

Prof. DR. Ing. K. TUNGGUL SIRAIT, Ketenagalistrikan, www.google.co.id. 17 Mei 2008.

http://www.google.co.id/search?hl=id&sa=X&oi=spell&resnum=0&ct=result&cd=1&q=uu+no.20+th.2002+tentang+ketenagalistrikan&spell=1

Aryanugraha, Pemadaman Listrik PLN dan Crash Program, http://aryanugraha.wordpress.com, 17 Mei 2008 http://aryanugraha.wordpress.com/2006/07/25/pemadaman-listrik-pln-dan-crash-program/

PLN, Pembangunan 5 pembangkit baru berbahan baker batu bara, www.google.co.id, 17 Mei 2008 http://202.162.220.3/10000mw/index2.asp?kdunit=12


2 komentar:

triiiiid mengatakan...

aduwh pak sa!a tidak mengerti.. T_T

firdaus_murti mengatakan...

Bagus blognya